Selamat malam,
Selamat istirahat manusia normal. Bukan berarti aku tidak normal, gila. Sterss gara-gara mikirin ngampus. Kuliah, tugas, jadwal berantakan, presentasi, ngadep dosen, rapat, kegiatan ekstra dan lain-lain sebagainya. Maksudnya, semenjak beberapa bulan terakhir, hidupku yang lugu, seperti cangkir dengan cingkir pelan-pelan dituangkan kedalamnya kopi hitam yang manisnya sedikit. Ngopi, pulang malem. Ngobrolin banyak hal. Tapi! Disela-selanya, dijejali doktrin-doktrin dan stigma. Semuanya merusak. Merusak niat awal sebagaimana kedua orang tua merelakan melepaskan kepergian anak semata wayangnya.
Wayang yang sebenarnya juga haus ilmu. Ingin rakus terhadapnya. Menggali pengalaman sedalam seperti gunung emas dikeruk hingga akar-akarnya. Pengen mengerti bagaimana sebenarnya dunia lapangan. Dunia yang jauh sekali hari sebelumnya belum sempat dirasakannya dan bermimpi merasakannya.
Di kota tampatku duduk paling depan sampai beralih bangku kedua, kuliah, Madiun. Kota yang punya slogan, dibaiki mengerti, dijeleki berani ini, menjadi persemedian, menjadi seperti buku yang hari demi hari bagai lembaran kisah seru dari setial halamannya.
Madiun kota pecel, dipagi hari. Malam? Seperti Jogja dan Solo. Tak pernah sepi. Hingga dalam anggapku, Madiun adalah kota kedai kopi. Tiap pinggir hingga persimpangan jalan, tidak lebih dari 10 meter ada saja warung kaki enam, dua gerobak, yang empat peladennya, kedai kopi jalanan, angkringan.
Beberapa bulan terakhir, mungkin 4 bulanan, semenjak sebelum menjadi bagian penting dari sebuah organisasi dikampus, unit kegiatan mahasiswa, UKM. Ukm Pecinta Alam, Cakra Manggala. Memang sudah didekati, dibekali sedikit sekali ilmu. Tentang bagaimana caranya ngopi.
Bercanda-bercanda, ngomongin masalah rokok, politikus-politikus kampus, dan banyak macam lainnya. “Mabamu nanti kalo bisa banyak!” Ucap teman,dulunya senior yang paling dibenci, murka dan dendam. Masalah kuantitas. Perlu sekali, supaya kedepannya bisa lebih memudahkan dalam bergerak. Tapi nyatanya, belum berhasil.
Selang itu, jadi orang penting disitu. Ngopi-ngopi makin gencar. Tiap hari, tiap pagi, malem bahkan kadang siang. Sampai akhirnya anggapan sampah terhadap rokok dibantah anggapan barunya. Seperti menelan ludah sendiri, sampah maksudnya.
Merokok memang punya nilai tersendiri. Nilai implisit. Soal kesehatan memang meragukan, riskan. Belum tentu rohaninya. Cuman yang sudah sepuh ngrokok yang ngerti, katanya..
Dari ngrokok, gara-gara ngopi, sekarng jadi pulang malem, ga tidur, kedoktrin gagasan hari 24 jam itu ya 24 jam, iya bekerja bolehlah 8 jam, istirahat 8 jam, 8 jamnya lagi bukan tidur. Tidur itu relatif, masih dalam bentuk pilihan. Asal ada kopi dan rokok surya, bisalah sambil jaduman, kalo bareng. Baca buku, atau infrmasi diinternet. Ga mungkin dari koran atau majalah, mana duit cukup beli begituan. Atau nulis seperti malam ini. I write cos nobody listen. Bahkan sampai alam digunung-gunung sudah mals mendengar. Ya sudah, nulis..
Ya, aku selugu bocah usia 7 tahun, punya uang 10ribu, lantaran uang seribuan logam gambarnya ada sawitnya, mau aja dituker. Gampang dan mudah sekali digoyah, payah. Diliatin ngrokok, pengen, malah akut, jadi candu yang setiap 3 jam sakau.
Sekarang apalagi, disetir. Seperti tidak menjadi sukma dan jiwaku sendiri. Politik. Menguasai orang, melobi dan lain sebagainya. Fucking publick relation. Dikuasai, dilobi dan sebagainya yang lain. Fucking this publik relation. Sebenarnya gampang, katanya, kalau dibaiki ngerti, dijahati wani. Belajar dari lembut kasarnya Madiun. Kalau memang dikasari dengan lembut, kenapa tidak dengan lembut mengkasari. Bukan balas demdam. Sebernarnya juga bukan dikasari, bukan diakali pula. Memang ini semua untuk kabaikan semuanya. Ta(p)i..
Ya, lucu saja. Seperti tidak manja tapi dituntun. Ya memang belum pandai melangkah, sekalinya kaki kanan mengenyahkan diri dari tanah, sudah salah, ceroboh salahnya heboh.
Sebenarnya bukan kesal juga, hanya ingin berbagi cerita. Bukan juga sih, mememorikan cerita. Ya, lantaran otak yang pendek mengingat. Siapa tau jauh hari nanti setelah ini, ini akan menjadi kisah sedih lucu kalo dibaca lagi.
Mudah diubah, goyah, payah!
Rabu, 23 Desember 2015. 00:19 WIB
Tulisan Iseng, Berharap Penuh Maghfiroh. Gaya Bahasa Usang, Semoga Bertolak Bosan.
Tuesday, December 22, 2015
Wednesday, December 16, 2015
Must Always Be Happy
Bahagia akan membuat apa yang kita lakukan menyenangkan.
Pertanyaannya, bagaimana memperoleh kebahagiaan itu?
Jika sudah tergenggam perasaan bahagia. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah akan ada yang tersakiti meski disembunyikan didalam hati atas kebahagiaan yang telah dalam genggaman?
Yaitu dengan tidak membenci. Simpan saja segala persepsi negatif hanya didalam hati. Jangankan omongan, bahkan ekspresi raut wajah murung mberi impact negatif pula. Membuat batin setiap yang dihadapanmu menjadi merasa risih. Siapa yang senang melihat mimik wajah penuh kemurungan?
Bertopeng. Meski fake smile. Enjoy dan santai. Tenang.
Rabu, 25 November 2015
Pertanyaannya, bagaimana memperoleh kebahagiaan itu?
Jika sudah tergenggam perasaan bahagia. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah akan ada yang tersakiti meski disembunyikan didalam hati atas kebahagiaan yang telah dalam genggaman?
Yaitu dengan tidak membenci. Simpan saja segala persepsi negatif hanya didalam hati. Jangankan omongan, bahkan ekspresi raut wajah murung mberi impact negatif pula. Membuat batin setiap yang dihadapanmu menjadi merasa risih. Siapa yang senang melihat mimik wajah penuh kemurungan?
Bertopeng. Meski fake smile. Enjoy dan santai. Tenang.
Rabu, 25 November 2015
Hati Nurani
Di jalan raya banyak motor dan mobil saling menyalip satu sama lain.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih cepat dan bukan menjadi lebih sabar, mereka dididik untuk menjadi yang terdepan dan bukan yang tersopan.
Di jalanan pengendara motor lebih suka menambah kecepatannya saat ada orang yang ingin menyeberang jalan dan bukan malah mengurangi kecepatannya.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak kita setiap hari diburu dengan waktu, di bentak untuk bergerak lebih cepat dan gesit dan bukan dilatih untuk mengatur waktu dengan sebaik-baiknya dan dibuat lebih sabar dan peduli.
Di hampir setiap instansi pemerintah dan swasta banyak para pekerja yang suka korupsi.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak-anak di didik untuk berpenghasilan tinggi dan hidup dengan kemewahan mulai dari pakaian hingga perlengkapan dan bukan diajari untuk hidup lebih sederhana, ikhlas dan bangga akan kesederhanaan.
Di hampir setiap instansi sipil sampai petugas penegak hukum banyak terjadi kolusi, manipulasi proyek dan anggaran uang rakyat.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih pintar dan bukan menjadi lebih jujur dan bangga pada kejujuran.
Di hampir setiap tempat kita mendapati orang yang mudah sekali marah dan merasa diri paling benar sendiri.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil dirumah dan disekolah mereka sering di marahi oleh orang tua dan guru mereka dan bukannya diberi pengertian dan kasih sayang.
Di hampir setiap sudut kota kita temukan orang yang tidak lagi peduli pada lingkungan atau orang lain.
Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka dididik untuk saling berlomba untuk menjadi juara dan bukan saling tolong-menolong untuk membantu yang lemah.
Di hampir setiap kesempatan termasuk di medsos ini juga selalu saja ada orang yang mengkritik tanpa mau melakukan koreksi diri sebelumnya.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah anak-anak biasa di kritik dan bukan di dengarkan segala keluhan dan masalahnya.
Di hampir setiap kesempatan kita sering melihat ada orang "ngotot" dan merasa paling benar sendiri.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan sekolah mereka sering melihat orang tua atau gurunya "ngotot" dan
merasa paling benar sendiri.
Di hampir setiap lampu merah dan rumah ibadah kita banyak menemukan pengemis.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka selalu diberitahu tentang kelemahan-kelemaham dan kekurangan-kekurangan mereka dan bukannya di ajari untuk mengenali kelebihan-kelebihan dan kekuatan-kekuatan mereka.
Jadi sesungguhnya potret dunia dan kehidupan yang terjadi saat ini adalah hasil dari ciptaan kita sendiri di rumah bersama-sama dengan dunia pendidikan di sekolah.
Jika kita ingin mengubah potret ini menjadi lebih baik, maka mulailah mengubah cara mendidik anak-anak kita
dirumah dan disekolah tempat khusus yang dirancang bagi anak untuk belajar menjadi manusia yang berakal sehat dan berbudi luhur.
Mari kita belajar terus dan terus belajar untuk menjadi orang tua dan guru yang lebih baik agar potret negeri kita bisa berubah menjadi lebih baik mulai dari kita, keluarga kita dan sekolah kita sendiri.
Bukan hanya berpikir dengan logika saja. Karena jika hanya berlogika saja hubungan antara manusia tidak berjalan dengan baik, seperti perumpamaan-perumpamaan diatas. Hablum minnanas membutuhkan hati nurani. Hati nurani yang tulus yang masih belum teracuni oleh westernisasi dan kejamnya globalisasi. Hati nuranilah yang akan membuat globalisasi menjadi persaingan jernih dan politik bersih..
Selasa, 28 Juli 2015.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih cepat dan bukan menjadi lebih sabar, mereka dididik untuk menjadi yang terdepan dan bukan yang tersopan.
Di jalanan pengendara motor lebih suka menambah kecepatannya saat ada orang yang ingin menyeberang jalan dan bukan malah mengurangi kecepatannya.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak kita setiap hari diburu dengan waktu, di bentak untuk bergerak lebih cepat dan gesit dan bukan dilatih untuk mengatur waktu dengan sebaik-baiknya dan dibuat lebih sabar dan peduli.
Di hampir setiap instansi pemerintah dan swasta banyak para pekerja yang suka korupsi.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah anak-anak di didik untuk berpenghasilan tinggi dan hidup dengan kemewahan mulai dari pakaian hingga perlengkapan dan bukan diajari untuk hidup lebih sederhana, ikhlas dan bangga akan kesederhanaan.
Di hampir setiap instansi sipil sampai petugas penegak hukum banyak terjadi kolusi, manipulasi proyek dan anggaran uang rakyat.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan di sekolah mereka dididik untuk menjadi lebih pintar dan bukan menjadi lebih jujur dan bangga pada kejujuran.
Di hampir setiap tempat kita mendapati orang yang mudah sekali marah dan merasa diri paling benar sendiri.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil dirumah dan disekolah mereka sering di marahi oleh orang tua dan guru mereka dan bukannya diberi pengertian dan kasih sayang.
Di hampir setiap sudut kota kita temukan orang yang tidak lagi peduli pada lingkungan atau orang lain.
Mengapa..?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka dididik untuk saling berlomba untuk menjadi juara dan bukan saling tolong-menolong untuk membantu yang lemah.
Di hampir setiap kesempatan termasuk di medsos ini juga selalu saja ada orang yang mengkritik tanpa mau melakukan koreksi diri sebelumnya.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah anak-anak biasa di kritik dan bukan di dengarkan segala keluhan dan masalahnya.
Di hampir setiap kesempatan kita sering melihat ada orang "ngotot" dan merasa paling benar sendiri.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan sekolah mereka sering melihat orang tua atau gurunya "ngotot" dan
merasa paling benar sendiri.
Di hampir setiap lampu merah dan rumah ibadah kita banyak menemukan pengemis.
Mengapa?
Karena dulu sejak kecil di rumah dan disekolah mereka selalu diberitahu tentang kelemahan-kelemaham dan kekurangan-kekurangan mereka dan bukannya di ajari untuk mengenali kelebihan-kelebihan dan kekuatan-kekuatan mereka.
Jadi sesungguhnya potret dunia dan kehidupan yang terjadi saat ini adalah hasil dari ciptaan kita sendiri di rumah bersama-sama dengan dunia pendidikan di sekolah.
Jika kita ingin mengubah potret ini menjadi lebih baik, maka mulailah mengubah cara mendidik anak-anak kita
dirumah dan disekolah tempat khusus yang dirancang bagi anak untuk belajar menjadi manusia yang berakal sehat dan berbudi luhur.
Mari kita belajar terus dan terus belajar untuk menjadi orang tua dan guru yang lebih baik agar potret negeri kita bisa berubah menjadi lebih baik mulai dari kita, keluarga kita dan sekolah kita sendiri.
Bukan hanya berpikir dengan logika saja. Karena jika hanya berlogika saja hubungan antara manusia tidak berjalan dengan baik, seperti perumpamaan-perumpamaan diatas. Hablum minnanas membutuhkan hati nurani. Hati nurani yang tulus yang masih belum teracuni oleh westernisasi dan kejamnya globalisasi. Hati nuranilah yang akan membuat globalisasi menjadi persaingan jernih dan politik bersih..
Selasa, 28 Juli 2015.
Subscribe to:
Posts (Atom)