Tuesday, December 22, 2015

Kedai Kopi Radio

Selamat malam,

Selamat istirahat manusia normal. Bukan berarti aku tidak normal, gila. Sterss gara-gara mikirin ngampus. Kuliah, tugas, jadwal berantakan, presentasi, ngadep dosen, rapat, kegiatan ekstra dan lain-lain sebagainya. Maksudnya, semenjak beberapa bulan terakhir, hidupku yang lugu, seperti cangkir dengan cingkir pelan-pelan dituangkan kedalamnya kopi hitam yang manisnya sedikit. Ngopi, pulang malem. Ngobrolin banyak hal. Tapi! Disela-selanya, dijejali doktrin-doktrin dan stigma. Semuanya merusak. Merusak niat awal sebagaimana kedua orang tua merelakan melepaskan kepergian anak semata wayangnya.

Wayang yang sebenarnya juga haus ilmu. Ingin rakus terhadapnya. Menggali pengalaman sedalam seperti gunung emas dikeruk hingga akar-akarnya. Pengen mengerti bagaimana sebenarnya dunia lapangan. Dunia yang jauh sekali hari sebelumnya belum sempat dirasakannya dan bermimpi merasakannya.

Di kota tampatku duduk paling depan sampai beralih bangku kedua, kuliah, Madiun. Kota yang punya slogan, dibaiki mengerti, dijeleki berani ini, menjadi persemedian, menjadi seperti buku yang hari demi hari bagai lembaran kisah seru dari setial halamannya.

Madiun kota pecel, dipagi hari. Malam? Seperti Jogja dan Solo. Tak pernah sepi. Hingga dalam anggapku, Madiun adalah kota kedai kopi. Tiap pinggir hingga persimpangan jalan, tidak lebih dari 10 meter ada saja warung kaki enam, dua gerobak, yang empat peladennya, kedai kopi jalanan, angkringan.

Beberapa bulan terakhir, mungkin 4 bulanan, semenjak sebelum menjadi bagian penting dari sebuah organisasi dikampus, unit kegiatan mahasiswa, UKM. Ukm Pecinta Alam, Cakra Manggala. Memang sudah didekati, dibekali sedikit sekali ilmu. Tentang bagaimana caranya ngopi.
Bercanda-bercanda, ngomongin masalah rokok, politikus-politikus kampus, dan banyak macam lainnya. “Mabamu nanti kalo bisa banyak!” Ucap teman,dulunya senior yang paling dibenci, murka dan dendam. Masalah kuantitas. Perlu sekali, supaya kedepannya bisa lebih memudahkan dalam bergerak. Tapi nyatanya, belum berhasil.

Selang itu, jadi orang penting disitu. Ngopi-ngopi makin gencar. Tiap hari, tiap pagi, malem bahkan kadang siang. Sampai akhirnya anggapan sampah terhadap rokok dibantah anggapan barunya. Seperti menelan ludah sendiri, sampah maksudnya.

Merokok memang punya nilai tersendiri. Nilai implisit. Soal kesehatan memang meragukan, riskan. Belum tentu rohaninya. Cuman yang sudah sepuh ngrokok yang ngerti, katanya..
Dari ngrokok, gara-gara ngopi, sekarng jadi pulang malem, ga tidur, kedoktrin gagasan hari 24 jam itu ya 24 jam, iya bekerja bolehlah 8 jam, istirahat 8 jam, 8 jamnya lagi bukan tidur. Tidur itu relatif, masih dalam bentuk pilihan. Asal ada kopi dan rokok surya, bisalah sambil jaduman, kalo bareng. Baca buku, atau infrmasi diinternet. Ga mungkin dari koran atau majalah, mana duit cukup beli begituan. Atau nulis seperti malam ini. I write cos nobody listen. Bahkan sampai alam digunung-gunung sudah mals mendengar. Ya sudah, nulis..

Ya, aku selugu bocah usia 7 tahun, punya uang 10ribu, lantaran uang seribuan logam gambarnya ada sawitnya, mau aja dituker. Gampang dan mudah sekali digoyah, payah. Diliatin ngrokok, pengen, malah akut, jadi candu yang setiap 3 jam sakau.
Sekarang apalagi, disetir. Seperti tidak menjadi sukma dan jiwaku sendiri. Politik. Menguasai orang, melobi dan lain sebagainya. Fucking publick relation. Dikuasai, dilobi dan sebagainya yang lain. Fucking this publik relation. Sebenarnya gampang, katanya, kalau dibaiki ngerti, dijahati wani. Belajar dari lembut kasarnya Madiun. Kalau memang dikasari dengan lembut, kenapa tidak dengan lembut mengkasari. Bukan balas demdam. Sebernarnya juga bukan dikasari, bukan diakali pula. Memang ini semua untuk kabaikan semuanya. Ta(p)i..

Ya, lucu saja. Seperti tidak manja tapi dituntun. Ya memang belum pandai melangkah, sekalinya kaki kanan mengenyahkan diri dari tanah, sudah salah, ceroboh salahnya heboh.
Sebenarnya bukan kesal juga, hanya ingin berbagi cerita. Bukan juga sih, mememorikan cerita. Ya, lantaran otak yang pendek mengingat. Siapa tau jauh hari nanti setelah ini, ini akan menjadi kisah sedih lucu kalo dibaca lagi.

Mudah diubah, goyah, payah!

Rabu, 23 Desember 2015. 00:19 WIB

No comments:

Post a Comment