Saturday, April 30, 2016

Kobaran Api

Setelah membaca hanya baru sebagian halaman novel tokoh seperti di gambar. Dalam nadi mengalir dendam dan kebencian tentang topeng dan kepura-puraan yang menggoda lidah menyebutak seluruh nama hewan dalam hutan. Ingin melepaskannya lalu membiarkan pena menari liar seperti wanita dengan riasan, cantik dipandang, berkebaya dengan dada terbuka, menggunakan jaipong, lekuk tubuhnya dalam menari dirasuki roh halus. Penanya bergerak dengan nurani.

Berbicara dalam hati, hanya dengan mata bisa dipahami. Menceritakan dan membeberkan tentang kebenaran dan kebijakan yang disalah gunakan. Jujur tanpa basa-basi. Tanpa kenisbian. Meski musti menderita sakit hati.

Huuah, tapi tidak mungkin! Sudah belum bisa lagi untuk sekarang. Seperti di lembar kertas kemuning setelahnya. Cinta!

Wednesday, April 20, 2016

Kopi Hitam Dan Rokok Yang Damai

Kopi hitam dan rokokku hanya sendiri ku habiskan. Pagi ini sepi. Tak ada teman berbincang. Tak seorangpun lawan bicara. Hanya lagu-lagu sedih saja yang ku dengar.

Tapi bukan sesuatu yang merugikan. Meski tak ada angin untuk aku menceritakan seribu gelisah. Aku masih bisa merenung dan menuliskannya. Tentang keresahan.

Apa yang membuat resah? Bukankah setiap kecup di bibir cangkir, rasa kopinya pas? Tidakkah hisap rokok yang dalam, lalu hembusannya terusan begitu damai?

Ya memang, pagi ini mesra meski kekasih jauh dipelataran tempat berbeda. Pagi ini romantis dengan ciuman bibir di secangkir kopi dan hisapan dua batang rokok. Renungan tentang lidah lelah tak bertulang. Lidah yang tak kaku bicara perihal kenisbian hidup. Gerak lidah di kemarin malam. Rontak jiwa!

Apakah pergunjingan menjadi bahan bahasan yang menarik disela 'ngopi dan 'ngrokok? Menurutku tidak! Begitu fakir pemikiran. Nestapa peradaban. Nista pengetahuan.

Kedamaian pagi ini karena tidak adanya hal negatif mengundang dosa yang menjadi topik diskusi. Seharusnya seperti itu. Berkelanjutan. Selalu membicarakan hal baik. Tidak ada angkuh, sombong, sindir, gunjing, sela, cela, hina, bathil, keji, debat.

Bisa bukan? Atau memecah sebuah masalah? Mencari sejari solusi? Bila saja ide? Gagasan? Bukan perihal buruk! Satu persatu kedamaian sejati dari 'ngrokok dan 'ngopi menjadi hakiki. Bukan khayalan, tidak juga mimpi.

Tuesday, April 19, 2016

Cemungut Eya!!

Haduh, ayolah rek.. Kalo bukan kita? Siapa lagi? Iya, saya tau, kita sama sibuknya.. Apasih? Iya, mau Praktek Kerja Lapangan kan? Saya juga kok!

Apalagi? Kuliahnya pulang sore terus ha? Wuhh, apalagi saya rek? Tiap hari lho! Halah! Bullshit kalo alasannya, "Saya nyuci, bersihin kos.". Kalo punya duit banyak ya dilaundry aja. Lha wong saya aja meski ga punya duit yo nyuci kok. Saya juga kan ga punya rumah disini, ngekost disini. Eh, sama ya! Hehe

Mbok ya menggendutkan kesadaran. Jangan ngendutin, "Aku lho udah begini, begitu.". Sumpah, kalo saya sih ya, menurut saya sih ya, saya sama arek-arek yang semangatnya luar biasa ini, ndak ada yang paling cuwapek. Semuanya ndak capek. Kalo emang capek semuanya ya capek.

Jadi, saya bilang, eh nulis gini ya jangan bilang ini sindirin. Positifnya aja yang diambil. Biar, tersenyum, dan "Cemungut Eya-nya hadir!".

So, sekali lagi, kalo bukan kita, siapa lagi?! Saya dan kuliah rek! Saya dan arek-arek semuanya. Cemungut eya rek ya! :-)

Salam hangat dan rindu dariku :*

Ruang Sekretariat UKM.

Friday, April 15, 2016

Yang Cukup Itu Susah

'Ngrokok sambil 'ngopi pagi ini, damai. Setelah lelah membilas, mencuci, di'kucek terus dibilas lagi. Macek di 'boyok rasanya lekas sembuh. Apalagi disambi jaduman.

"Mas Arif terlalu kayaknya kalo capek, Riz.", kata Pak Topan. Dia melirik gendarel pintu yang tak dikunci. Ada sedikit celah, kamarnya gelap terlihat sebagian.

"Ngertiku kemarin nglembur. Tiba'e langsung pulang.". Tambahnya.

"Mangke nek njenengan wangsul, dibekto sekalian mawon Pak, kuncine,".

Kami beradu mengepulkan asap di ruang tengah Kos. Dihadapkan teve berlayar hitam, tidak dinyalakan. Mesra sekali perbincangan menjelang siang itu.

"Njenengan wangsul bibar dzuhur nopo saniki Pak?" Tanyaku melanjut pernyataan yang seperti memerintah sopan.

"Iya, sakjane.. Aku juga mau mbalikin duit, kemarin minjem 50 ribu.".

Kopi sedari mau mencuci pakaian segunung sudah setengah habis. Air masaknya menjelma dingin. Rasanya lebih manis sehabis ku aduk lagi.

"Setelah nikah malah lupanya mudah." Pak Topan menyeringai.

"Apalagi nek udah punya anak, Mas. Tambah susah buat seimbang.", menambahkan.

"Istrinya harus ngalah,". Mungkin maksudnya, alangkah lebih baik kalau kekasih halalnya jadi ibu rumah tangga saja.

"Iya Pak. Juga biar bisa mendidik anaknya nanti." Bersama dengan ku hisap lagi rokokku.

"Tapi, nek terusan 'ngasih waktu buat anak, nanti malah manja anaknya." Timpalku selanjutnya.

"Ya, jangan terlalu to..". Timpalnya baik, dengan tambahan kata "to". Bahasa Jawa, sama dengan kata "lah" dalam bahasa Indonesia. Tapi jika intonasinya salah, akan menguji sabar.

"Cocoknya, ibu rumah tangga kerja sambilan mungkin Pak. Misalnya jualan roti distok ke warung.". Pak Topan mengangguk, mungkin setuju.

"Soalnya ya, kalau suami istri sama-sama kerja, suaminya yang merasa dirugikan.". Aku juga lumayan setuju, batin suaminya mungkin akan bilang, "Kok lauknya beli terus, kapan nih nyobain masakin kekasih.".

Suami juga tak hanya butuh kasih batiniyah. Kasih lahirnya juga perlu. Biar seimbang.

"Istri saya juga sekarang cuman di rumah Mas. Dulu masih kerja.". Pak Topan menginformasikan.

Hhm.. Memang, jadi seimbang itu susah. Jadi seimbang itu fleksibel dengan Si KonTol PanJang, Situasi. Kondisi, Toleransi, Pantauan dan Jangkauan. Seimbang, bisa diartikan cukup. Maksudnya seimbang tugas istri. Mencukupi kebutuhan lahiriyah dan batiniyah suaminya. Cukup atau seimbang berarti merasa sungguh dalam bersyukur.

Perbincangan kami sebentar berhenti. Pak Topan mengambil tas ransel dari kamarnya. Bersiap berkemas pulang. Menunaikan rindu sepekan dengan istrinya.

Telepon genggamku juga berdering. Nadanya nyaring. Memecah suasana hening. Ku ambil dari atas buku "Menjadi Penulis Handal" bersampul kuning.

Seusai pembicaraanku di layang suara. Pak Topan juga mengusaikan persinggahannya. Tas ranselnya kebak. Mempunuk seperti bukit. Mungkin buah tangan untuk anaknya melimpah. Beliau pulang.

"Aku pulang sek Mas."

"Nggeh Pak. Hati-hati.. Salam buat keluarga.". Kataku.

Sunday, April 10, 2016

THE POWER OF WORD

Kata gabungan "merendah hati" dan "merendahkan hati" itu berbeda. Hanya karena bertambah imbuhan -kan pada kata "merendah". Sudah memiliki makna yang tak sama.

Merendahkan seperti halnya meremehkan, menghina dan menginjak hingga berjejak. Merendah, artinya mengecilkan level takabur, kesombongan dan angkuh. Bag siang dan malam makna keduanya.

Menulis itu tak mudah. Yang menjadi objek dari tulisan, bisa senang mabuk kepayang, mungkin bertemakan cinta. Atau bisa malu tak karuan, karena dalam tulisan aib yang diceritakan.

Apalagi berbicara, sebagai manusia 'dewasa. Tak sama tak mudahnya dengan menulis. Berbicara butuh reflek yang lebih cepat dibanding mengetik di papan keyboard, atau di touchscreen smartphone. Menulis masih bisa berpikir disenggang jempol menekan space. Tapi berbicara? Mungkin bisa juga, sambil santai menghembus asap rokok ke udara.

Berbicara butuh tenang. Berpikir itu tidak gampang. Entah menulis atau bicara. Pemilihan kata/word yang disebut diksi. Harus mampu cerdik tak hanya memilih namun juga memilahnya.

Apalagi dalam suatu meja bundar dengan perjamuan rokok dan kopi yang megah mewah. Butuh cara bicara yang wah. Intonasi, jeda, diksi, pandang mata, ekspresi dan mimik wajah, musti tepat dengan apa yang sedang dilontarkan.

Kalau tidak bisa 'nyablak benar seperti yang dilakukan Mbah Sutjiwo Tedjo. Dengan mengkolaborasikan kisah wayang bercerita tentang kebenaran. Itu justru kelebihan tersendiri.

Tetapi kalau tidak bisa, lebih baik tak usah. Karena tawa terjadi bukan karena hal yang ingin dibuat lucu, melainkan lucu karena ingin membuat lucu yang gagal. Tapi belajarlah suapaya tidak serius melulu. Jangan menjadi pendiam yang murung, apalagi ditambah pandangan sinis. Malah dinilai negatif. Pendiam bukan berarti pemurung.

Tapi kalau terlalu 'nyablak juga tak boleh. Yang jadi bukan nyablak, tapi 'maido. 'Nyablak harusnya sebagai penyempurna rasa yang kurang pas seperti dimasakkan. Terlalu nyablak cenderung kepada menjelek-jelekkan. Ini yang menimbulkan penilaian negatif, penjahat.

The Power Of Word. Pemilihan kata atau diksi, entah menulis, bicara. Perlu pembelajaran yang lanjut. Apalagi bicara. Setelah diksi, juga ada aturan bicara berlanjut yang harus dikuasai.

Stasiun Solo Jebres, di dalam gerbong Kereta Api Brantas. Senin, 11 April 2016. 01:59 WIB.

Koleksi Puisi Di Rumah, Terkarya

RUMAH
Karya : Aulia Rizqi

Biar jauh rantau pengemberaanku,
Tiada tempat kembali kecuali tanah dimana mati ku diliangkan.
Tanah bergunduk dengan maesan diujungpun, harapan,
Aku tetap disini, tanah lahir.
Rumah.

***

TUNAI RINDU
Karya : Aulia Rizqi

Pulang menepis kerinduan.
Tersambut hangat pelukan langka.
Sekali setahun, tercepat tidak lebih dari lima kali dua tubuh layu menyatu.
Meski tanpa isak tangis sedu dan rindu.
Batin gelut ini lega, setelah puasa jumpa, tunai tersudahi.

***

PRIBADI TAK 'JANCUK
Karya : Aulia Rizqi

Hidup bernilai sembilan mendekati sempurna.
Tak pernah terjadi di apartemen sepi.
Tak seramai jamuan rokok dan kopi.
Tiga warna buah, tiga jenis kacang juga tiga sajian makan.
Bagaimana tidak 'mbetahi?
Kecuali 'jancuk pribadi diri.

***

RINDU YANG LAIN
Karya : Aulia Rizqi

Dia hanya diam.
Menunggu kabar dari kekasih.
Yang sementara waktu,
Dipisah peraduan tempat yang berbeda.
Dia cuman diam.
Melirik notifikasi telepon pintarnya.
Menunggu tulisan rindu ingin bertemu. Kekasihnya manja..

Teras depan rumah,
16.50 WIB, Minggu, 10 April 2016.

BIJAKSANA CINTA

Karya : Aulia Rizqi
Adaptasi "KABAR ANGIN PAGI HARI" Karya : Sri Wintala Achmad

Berhala cinta, menyembahnya, berlutut dan sujud hingga dahi benjud.
Agama cinta, tak bisa murtad darinya. Terkutuk dicintai dan mencinta.
Nafsu membara. Iman sejati, pikiran dan akal logika sebagai kayu bakar kering.
Maka, jika sakau merindu, ingatlah hal lara hati tentang cemburu.
Rasakan cambuk diselingkuhi sekali, ditetesi air garam pada luka cambukan kedua kali.
Jika cinta menjelma benci yang meraksasa raya. Bayangkan senyum mekarnya daging tulang pelipis.
Mahkota mawar dihinggap kekupu, tak tanggal kelopak kuntum dari tangkainya.
Ingat janji saat merekahnya bibir tipis dan berkata, "Hamba akan tulus setia kepada hanya Tuan dan seakhir usia.".

Gerbong Kereta Api Brantas, Senin, 11 April 2016. 01:41 WIB.